Nashir as-Sunnah wa al-Hadits!, gelar itu disematkan kepada Imam
Syafi’i berkat keteguhannya membela Sunah dan Hadis Rasulullah SAW.
Pendiri Mazhab Fikih Syafi’i ini senantiasa menjalankan wasiat
Rasulullah SAW, yakni menjadikan Alquran dan Sunah Nabi sebagai landasan
dan sumber hukum, terutama dalam masalah akidah. “Jika kalian telah
mendapatkan Sunah Nabi, ikutilah dan janganlah kalian berpaling
mengambil pendapat yang lain,” begitulah pesan Sang Imam. Ia bahkan
secara tegas menolak ilmu kalam. “Setiap orang yang berbicara
(mutakallim) dengan bersumber dari Alquran dan Sunah, maka ucapannya
adalah benar, tetapi jika dari selain keduanya, maka ucapannya hanyalah
igauan belaka.” Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fikih,
hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli
Hijaz. “Beliau (Imam Syafi’i) adalah orang yang paling faqih dalam
Alquran dan As-Sunnah,” puji Imam Ahmad bin Hanbal–ulama pendiri Mazhab
Hambali yang juga dikagumi Imam Syafi’i. “Tak seorang pun yang pernah
memegang pena dan tinta (ilmu), melainkan Allah memberinya di `leher’
Syafi’i,” ungkap Thasy Kubri dalam kitab Miftahus Sa’adah. Ia tak hanya
dikenal dengan keluhuran ilmunya, namun juga kemuliaan akhlaknya. Para
ulama menyatakan bahwa Sang Imam pendiri Mazhab Syafi’i itu adalah figur
yang amanah, zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik,
dan mempunyai derajat keilmuan yang tinggi.
Selama hidupnya, Imam Syafi’i mendedikasikan dirinya untuk
mengembangkan agama Allah SWT. Ia juga dikenal sebagai ulama yang
produktif. Ratusan kitab tentang tafsir, fikih, adab, dan ilmu agama
lainnya telah dipersembahkan bagi umat Islam. Menurut Ibnu Zulaq, tak
kurang dari 200 kitab penting telah ditulis Sang Imam. Al-Marwaziy
menyebutkan, tak kurang dari 113 kitab ilmu agama telah disumbangkannya
bagi pengembangan agama yang diajarkan Muhammad SAW. Menurut Ibnu
An-Nadim dalam Al-Fahrasat, Kitab Al-Umm merupakan karya Sang Imam yang
paling populer. Kitab yang terdiri atas empat jilid itu mengupas dan
membedah 128 masalah keagamaan. Al-Umm menjadi kitab dan rujukan penting
bagi pengikut Mazhab Syafi’i. Pada awalnya, kitab itu dikembangkan oleh
pengikutnya di Mesir, seperti Al Muzani, Al Buwaithi, serta Ar Rabi’
Jizii bin Sulaiman. Nasab
Menurut para sejarawan, ahli nasab, dan pakar hadis, Imam Syafi’i
masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Rasulullah SAW. Secara
khusus, Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian mereka akan
kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab Nabi
Muhammad SAW. Ulama legendaris ini bernama lengkap Muhammad bin Idris
bin al-`Abbas bin `Utsman bin Syafi` bin as-Saib bin `Ubayd bin `Abdu
Zayd bin Hasyim bin al-Muththalib bin `Abdu Manaf bin Qushay. Jika
diurut, secara nasab Sang Imam masih satu keturunan dengan Rasulullah
SAW dari Abdu Manaf bin Qushay.
Imam Syafi’i ternyata masih termasuk dalam Bani Muththalib, yaitu
keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek
Nabi Muhammad SAW. Ayahnya bernama Idris. Ia adalah orang miskin yang
berasal dari daerah Tibalah–daerah Tihamah dekat Yaman. Imam Syafi’i
terlahir pada 150 H/ 767 M. Ada dua pendapat tentang kota kelahiran Sang
Imam. Ada sejarawan yang meyakini Imam Syafi’i lahir di Gaza,
Palestina, namun sebagian berpendapat ia lahir di Asqalan–sebuah kota
tak jauh dari Gaza. Menurut Ibnu Hajar, Sang Imam dilahirkan di sebuah
tempat bernama Ghazzah di wilayah Asqalan. Para sejarawan juga mencatat,
kelahiran Imam Syafi’i hampir bersamaan dengan wafatnya seorang ulama
besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah. Keduanya adalah ulama besar
yang populer dan sangat berjasa bagi pengembangan agama Allah SWT. Saat
masih kecil, Imam Syafi’i sudah menjadi anak yatim. Ketika berusia dua
tahun, sang ibu membawanya ke Makkah, tanah air nenek moyang. Sejak
kecil, Imam Syafi’i sudah menunjukkan kecerdasannya. Berkat otaknya yang
encer, ia sangat cepat menghafal syair, pandai berbahasa Arab, dan
sastra. Kepandaiannya dalam sastra juga mendapat pujian dan pengakuan.
Imam Syafi’i adalah ulama yang tak pernah berhenti belajar. Ia rela
melanglang buana mencari ilmu agama ke berbagai kota penting di dunia
Islam. Kota Makkah menjadi kota pertama tempat menimba ilmu Sang Imam.
Di kota nenek moyangnya itu, ia menimba ilmu fikih dengan berguru kepada
seorang Mufti bernama Muslim bin Khalid Az Zanji. Ia sangat menyenangi
ilmu fikih. Selain belajar dari Mufti Makkah, Imam Syafi’i pun berguru
kepada Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, Muhammad bin Ali bin Syafi’,
Sufyan bin Uyainah, Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin
Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl, dan banyak yang lainnya. Kemampuannya
dalam ilmu fikih sudah diakui, meski ia baru beberapa tahun mengikuti
halaqah dari para ulama besar di Makkah.
Ketertarikannya dalam bidang fikih membuatnya memutuskan untuk hijrah
ke Madinah. Di kota tujuan hijrah Rasulullah SAW itu, Imam Syafi’i
berguru kepada Imam Malik bin Anas. Ia berhasil menghafal Kitab
Muwattha’ dari Imam malik hanya sembilan malam. Imam Syafi’i
meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl, dan
pamannya Muhamad bin Syafi’. Kecerdasan Imam Syafi’i membuat Imam Malik
begitu mengaguminya. Sang Imam pun begitu mengagumi dua orang gurunya,
yakni Imam Malik dan Sufyan bin Uyainah. “Seandainya tidak ada Malik bin
Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz,”
cetus Imam Syafi’i. “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, Malik
menjadi bintang di majelis itu.” Setelah berguru di Madinah, Imam
Syafi’i pun hijrah ke Yaman–tanah leluhur dari sang ibu. Ia sempat
bekerja di kota ini. Ia mendatangi sederet ulama yang ada di kota Yaman,
seperti Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli, dan banyak lagi
kota yang lainnya. Dari Yaman, ia melanjutkan pencarian dan penyebaran
ilmunya ke kota Baghdad, Irak. Di metropolis intelektual dunia itu, ia
belajar ilmu fikih dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fikih di
Irak. Selain itu, ia sempat berguru dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul
Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang lainnya. Imam Syafi’i
bertemu dengan Imam Ahmad bin Hanbal di Makkah tahun 187 H dan di
Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba
ilmu fikih, ushul mazhab, serta penjelasan nasikh dan mansukhnya.
Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis mazhab lamanya (mazhab qodim).
Kemudian, beliau pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan mazhab baru.
Ia wafat di Kota Fustat–Kairo Tua–pada akhir bulan Rajab 204 H/819 M.
Dedikasinya dalam menyebarkan agama Allah SWT, hingga kini tetap
dikenang umat Islam di seantero dunia.
Pendiri Mazhab Syafi’i Inilah salah satu mazhab fikih terbesar dalam
agama Islam. Mazhab fikih yang dicetuskan Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
ini kebanyakan dianut penduduk Mesir bawah, Arab Saudi bagian barat,
Suriah, Indonesia, Malaysia, Brunei, pantai Koromandel, Malabar,
Hadramaut, dan Bahrain.
Pemikiran fikih mazhab ini dicetuskan Imam Syafi’i, yang hidup di
zaman pertentangan antara aliran Ahlul Hadis (cenderung berpegang pada
teks hadis) dan Ahlur Ra’yi (cenderung berpegang pada akal pikiran atau
ijtihad). Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlul
Hadis, dan Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani sebagai tokoh Ahlur
Ra’yi yang juga murid Imam Abu Hanifah. Imam Syafi’i kemudian merumuskan
aliran atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara
kedua kelompok tersebut. Imam Syafi’i menolak istihsan dari Imam Abu
Hanifah maupun mashalih mursalah dari Imam Malik. Namun demikian, Mazhab
Syafi’i menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang Imam
Malik. Meskipun berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan
Imam Syafi’i sebagai ulama fikih, ushul fikih, dan hadis di zamannya
membuat mazhabnya memperoleh banyak pengikut. Dan, kealimannya diakui
oleh berbagai ulama yang hidup sezaman dengannya.
Dasar-dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam Kitab Ushul Fiqh
Ar-Risalah dan Kitab fiqh al-Umm. Di dalam buku-buku tersebut, Imam
Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh
merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang).
Mazhab ini berpegang teguh pada:
* Alquran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan
bahwa yang dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi’i pertama sekali
selalu mencari alasannya dari Alquran dalam menetapkan hukum Islam.
* Sunah dari Rasulullah SAW, kemudian digunakan jika tidak ditemukan
rujukan dari Alquran. Imam Syafi’i sangat kuat pembelaannya terhadap
sunah sehingga dijuluki Nashir As-Sunnah (pembela Sunah Nabi).
* Ijma’ atau kesepakatan para Sahabat Nabi, yang tidak terdapat
perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Ijma’ yang diterima Imam Syafi’i
sebagai landasan hukum adalah ijma’ para sahabat, bukan kesepakatan
seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena
menurutnya hal seperti ini tidak mungkin terjadi.
* Qiyas, yang dalam Ar-Risalah disebut sebagai ijtihad, apabila dalam
ijma’ tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi, Imam Syafi’i menolak
dasar istihsan dan istislah sebagai salah satu cara menetapkan hukum
Islam.
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi
dan Mazhab Maliki, yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan.
Pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi’i, terutama disebarluaskan
dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama Imam Syafi’i di
Mesir, yang menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Syafi’i pada
awalnya adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti (w. 846), Abi Ibrahim Ismail
bin Yahya al-Muzani (w. 878) serta Ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi (w.
884).
Ulama Besar Pengikut Mazhab Syafi’i
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari
Imam Bukhari
Imam Muslim
Imam Nasa’i
(republika)
Imam Baihaqi
Imam Turmudzi
Imam Ibnu Majah
Imam Tabari
Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani
Imam Abu Daud
Imam Nawawi
Imam as-Suyuti
Imam Ibnu Katsir
Imam adz-Dzahabi
Imam al-Hakim
Sumber
Imam Syafi’i: Cahaya Umat, Pembela Sunah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Komentar Dari Saudara:
Posting Komentar